Arfiana mengambil foto temannya, Noris Irmayani, saat mengunjungi GMKA untuk melihat ikon baru - Patung Maria Assumpta
Kehadiran Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA) yang terletak di Kabupaten
Semarang, Propinsi Jawa Tengah, menjadi daya tarik khusus bukan hanya
bagi umat Katolik tapi juga umat Islam seperti Susilo.
“Awalnya saya ke sini untuk cari ketenangan pikiran dan batin. Ternyata cocok,” kata pria berusia 36 tahun itu.
Susilo yang masih bujang tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah
yang terletak di seberang GMKA. Dulu ia mengunjungi GMKA hanya sesekali
saja. Namun sejak tiga bulan terakhir, ia mengunjungi GMKA setiap malam.
“Saya sampai GMKA sekitar jam 23.30 WIB, pulang sekitar jam 1.00 WIB.
Pulang mengikuti kata hati,” kata buruh bangunan itu. “Kalau saya ke
GMKA biasanya berdoa menurut keyakinan saya. Saya cuma meminjam tempat
untuk berdoa. Doa yang saya sering panjatkan adalah untuk keluarga.”
Susilo yakin bahwa semua doa yang dipanjatkan dengan tulus akan dikabulkan.
“Banyak teman saya bilang doa-doa mereka terkabul,” katanya, seraya
menambahkan bahwa ia akan tetap mengunjungi GMKA untuk berdoa sampai
doa-doanya dikabulkan.
Selain Susilo, setiap hari ada banyak umat non-Katolik yang mengunjungi GMKA untuk berdoa atau sekedar jalan-jalan.
“Kalau yang non-Katolik sekitar 15-50 orang datang ke sini setiap
hari,” kata Yohanes Aris Widyatmoko, kepala kantor sekretariat GMKA.
Menjadi magnet
GMKA yang bernaung di bawah Keuskupan Agung Semarang (KAS) telah
menjadi magnet wisata rohani sejak diberkati oleh Monsignor Albertus
Soegijapranata SJ yang saat itu menjabat sebagai vikaris apostolik
Semarang pada 15 Agustus – Hari Raya Maria Diangkat ke Surga – tahun
1954.
“Banyak anak muda (datang ke sini) karena di sini ada magnet yaitu
taman GMKA. Jadi mereka biasa menghabiskan waktu di sana. Meskipun
mereka berkerudung, mereka sudah merasa tidak tabu,” kata Widyatmoko.
Salah satunya adalah Marwiyah, seorang perempuan Muslim yang bekerja
sebagai pengasuh untuk seorang wanita lanjut usia Katolik yang tinggal
di Kota Semarang. Ia biasa menemani majikannya saat mengunjungi GMKA
sekali dalam seminggu.
“Saya berjilbab, tapi saya merasa nyaman masuk ke sini. Saya punya
agama sendiri, mereka punya agama sendiri. Jadi saya merasa
menghormati,” katanya.
Tapi bukan hanya taman GMKA yang menjadi magnet wisata rohani. GMKA
yang berdiri di atas lahan seluas 5,5 hektar juga memiliki ruang doa, 14
stasi Jalan Salib dan sebuah kapel serta beberapa fasilitas lain
seperti enam unit gedung transit berlantai dua, aula, toko devosional,
kantin dan lahan parkir.
“Yang membuat saya tertarik untuk datang adalah patung Bunda Maria.
Kalau dilihat, Bunda Maria itu tersenyum, cantik. Dia seperti dewi. Hati
saya merasa tenang, senang,” kata Putrimah, seorang wanita Muslim
berusia 51 tahun yang tinggal di Dusun Ngampon.
Ibu dari empat anak yang bekerja sebagai tukang pijat itu mengunjungi
GMKA setidaknya sekali dalam sebulan. Terkadang ia membawa serta
anak-anaknya.
“Saya tidak tahu soal Bunda Maria. Cuma saya senang melihat Bunda Maria,” katanya.
Uskup Agung Semarang Monsignor Johannes Maria Trilaksyanta
Pujasumarta tidak keberatan jika GMKA dianggap sebagai sebuah tempat
wisata rohani.
“Boleh dikatakan sebagai wisata rohani. Baik, justru ini yang kita
harapkan. Ada berbagai cara untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta.
Masing-masing agama mempunyai habitus sendiri, punya tata ibadah
sendiri. Kita tidak menutup untuk diri kita sendiri,” katanya.
Lebih dari 7.500 peziarah mengikuti upacara pemberkatan ikon baru -patung Maria Assumpta pada 15 Agustus 2015
Devosi
Bagi umat Katolik seperti Rosalina Budi Astuti, 54, GMKA menjadi
tempat yang paling tepat untuk melakukan devosi. Ia rutin mengunjungi
GMKA sejak setahun lalu.
“Kalau ke sini setiap malam Selasa kliwon dan malam Jumat kliwon.
Pasti ke sini sama Bapak (suami). Saya berdoa Rosario,” kata umat Paroki
St. Paulus di Sendangguwo, Semarang, itu.
Menurut Monsignor Pujasumarta, iman umat Katolik setempat bisa dilihat dari devosi mereka yang begitu kuat terhadap Bunda Maria.
KAS sendiri, misalnya, memiliki 32 Gua Maria: delapan di Kevikepan
Semarang, tiga di Kevikepan Kedu, 12 di Kevikepan Surakarta, dan
sembilan di Kevikepan Yogyakarta.
Di tingkat nasional, Gua Maria yang paling populer adalah Gua Maria
Sendangsono yang diberkati pada 8 Desember 1929. Gua Maria ini dikelola
oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan, Yogyakarta.
Sendangsono berasal dari kata “sendang” yang berarti mata air dan
“sono” yang merupakan nama pohon. Sendangsono, atau mata air di bawah
pohon, merupakan tempat di mana benih-benih pertama iman Katolik
ditaburkan lebih dari 100 tahun lalu di Jawa. Pada 14 Desember 1904,
Pastor Frans van Lith SJ memberkati mata air itu dan menggunakannya
untuk membaptis 171 umat Katolik Jawa yang pertama.
Namun alasan geografis membuat banyak umat Katolik lebih memilih untuk mengunjungi GMKA dan bukan Gua Maria Sendangsono.
“GMKA menjadi besar karena dikunjungi banyak orang. Dibandingkan
Sendangsono, GMKA banyak dikunjungi. Alasannya mudah dicapai,
geografis,” kata Monsignor Pujasumarta.
Rosalina Budi Astuti berdoa Rosario di depan Gua Maria di GMKA
Ikon baru
Semakin banyak peziarah nampaknya akan mengunjungi GMKA khususnya
setelah tanggal 15 Agustus tahun ini ketika sebuah patung Maria Assumpta
setinggi 30,7 meter yang dibangun di GMKA diberkati oleh Monsignor
Pujasumarta.
Untuk pemberkatan patung itu sendiri yang berlangsung pada Sabtu
sore, sekitar 7.500 peziarah dari berbagai wilayah di Indonesia dan
bahkan dari negara tetangga seperti Malaysia memadati GMKA.
“Ada keinginan supaya kawasan ini ada ikon yang memukau. Lalu salah
satunya adalah memanfaatkan momentum ulang tahun setiap tanggal 15
Agustus. Itu adalah Hari Raya Maria Diangkat ke Surga. Itu menjadi
pelindung dari GMKA ini. Supaya bisa didatangi orang, harus ada sesuatu
yang mengikat,” kata Monsignor Pujasumarta.
Tiga pemahat Katolik membutuhkan waktu selama setahun untuk
menyelesaikan pembuatan patung yang terbuat dari pasir silika dan resin
itu. Ketiganya adalah kakak-beradik.
“Patung itu wujud dari kami bertiga untuk persembahan,” kata Nugroho
Adi Prabowo, salah seorang pemahat. Kedua pemahat lainnya adalah
Koentjoro Budi Pranoto dan Hartanto Agung Yuwono.
Ada alasan historis mengapa ikon baru tersebut dibangun di GMKA.
“GMKA diberkati berkaitan dengan peringatan 100 tahun dogma ‘Maria
Terkandung Tanpa Noda’ pada tahun 1954. Tahun itu pula merupakan tahun
syukur Gua Maria Lourdes Sendangsono yang diresmikan pada 8 Desember
1929, yang berarti juga 50 tahun setelah peristiwa pembaptisan 171 orang
di Kalibawang oleh Romo Frans van Lith SJ,” kata Monsignor Pujasumarta.
Pemberkatan Patung Maria Assumpta disusul dengan prosesi replika
patung dan lilin bernyala. Lalu Misa Kudus untuk memperingati Ulang
Tahun GMKA ke-61 digelar dan dilanjutkan dengan adorasi Sakramen
Mahakudus.
“Kami tahu (soal pemberkatan itu) dari
YouTube. Kami merasa bahagia,” kata Levita Michael, seorang peziarah dari Sabah, Malaysia.
Arfiana, 23, seorang remaja Muslim asal Kalimantan Timur, mengunjungi
GMKA untuk melihat ikon baru tersebut menjelang pemberkatan. “Saya tahu
tempat ini dari teman. Lumayan bagus tempatnya, patungnya,” katanya.
Ikon baru itu diharapkan mampu meningkatkan kerukunan antaragama
khususnya antara umat Katolik dan Islam di masa yang akan datang.
“Kehadiran Patung Maria Assumpta GMKA bukan langkah mundur dialog
antar-umat beragama lain, sebaliknya menjadi tonggak kokoh untuk
memajukan dialog antar-umat beragama untuk membangun persaudaraan sejati
berdasarkan cinta kasih, pokok pengalaman akan Allah pada setiap orang
beragama,” kata Monsignor Pujasumarta.
Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta menaiki crane saat memberkati patung Maria Assumpta
Kerukunan antaragama
Terletak di Ambarawa, satu dari 19 kecamatan di Kabupaten Semarang
yang memiliki polulasi sekitar 970.000 jiwa dan 87 persennya adalah
Muslim, GMKA telah menawarkan berbagai kegiatan antaragama sejak
diberkati 61 tahun lalu.
“Salah satunya Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KAS setiap
enam bulan sekali mengadakan temu kebatinan di sini. Panitia banyak
mengundang narasumber dari Muslim,” kata Widyatmoko.
Suhadi Maskur, seorang tokoh Muslim dari Mesjid Agung Palagan Ambarawa, tidak pernah melarang umat Islam untuk mengunjungi GMKA.
“Saya tidak masalah jika ada umat Islam yang datang ke tempat ziarah
GMKA. Umat Islam mau datang ke sana, ya silakan. Tapi jangan
mengganggu,” katanya.
Menurutnya, kehadiran GMKA turut membantu meningkatkan kerukunan antaragama di wilayah itu.
“Tidak pernah ada masalah antaragama di sini.
Take and give,
menerima dan memberi. Itu bentuk kerukunan antaragama di sini. Kasih
sayang antarumat beragama modalnya,” kata pria berusia 86 tahun itu.
Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten
Semarang Sinwani mengatakan bahwa ketegangan yang sering muncul biasanya
berkaitan dengan pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk tempat
ibadah.
Bukan hanya di wilayah itu, Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadah telah menciptakan sejumlah masalah di berbagai
wilayah di Indonesia.
“Tidak pernah ada konflik. Masalah itu pendek tapi terselesaikan. Di
sini tidak ada konflik, adanya perbedaan. Perbedaan itu tidak sampai
menimbulkan konflik yang besar, bisa kami tangani. Perbedaan itu indah.
Dalam Islam, perbedaan itu rahmat,” katanya.
Katharina R. Lestari, Kerep
Baca juga:
ucanews.com