Selamat Datang di Gereja Paroki St Yosef Duri . . . . . Welcome to St Yosef Parish Church Duri - INDONESIA
Selamat Datang dan Terima kasih telah mengunjungi situs Gereja Katolik Paroki St.Yosef - Duri, Riau Indonesia. Menjadi Gereja yang Mandiri dan Berbuah, itulah Visi dan Misi Gereja Paroki St Yosef Duri, oleh karena itu peran serta aktif umat dalam pewartaan adalah sesuatu yang sangat diperlukan, untuk itu apabila Saudara-Saudari berminat untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, ketrampilan, pengetahuan, dana, waktu dan bantuan apapun termasuk komentar dan usulan, silahkan hubungi kami di: gerejaparokistyosef@gmail.com.

Warta Paroki

STASI SANTO YOHANES A DEO - KULIM

Mei 2016


Salah satu kerinduan umat di kring St. Yohanes A Deo sejak tahun 2009 yang lalu adalah ingin memiliki rumah ibadah (gereja) yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Waktu itu jumlah umat masih 18 KK. Hal ini beralasan karena jarak tempat tinggal mereka ke stasi St. Fransiskus Asisi Sejahtera berada pada kisaran 7 – 13 km, butuh ongkos transportasi Rp 10.000,- pulang pergi pada saat itu untuk satu orang.  Demikian kutipan sejarah singkat berdirinya stasi ini yang dibacakan oleh Ketua Pembangunan J. Purba.

            Setiap tahun jumlah umat semakin bertambah. Seiring berjalanya waktu, pada tahun 2012 jumlah umat stasi St. Fransiskus Asisi Sejahtera tercatat 253 KK. Dewan Pastoral Stasi (DPS), atas persetujuan pastor kepala paroki Martinus Suparjiwo, Pr, sepakat memprogramkan pemekaran stasi di daerah Kulim sebagai bentuk kemandirian stasi St. Fransiskus Asisi Sejahtera. Sebagai pertimbangan DPS waktu itu bahwa kapasitas gereja St. Fransiskus Asisi (yang selesai dibangun tahun 1999) hampir maksimal.
Pada tahun 2013 batas wilayah teritorial untuk perencanaan pemekaran stasi ini ditetapkan oleh DPP bersama DPS, yaitu mencakup wilayah kring St. Markus dan kring St. Yohanes A Deo, dengan jumlah umat 80 KK, dari Km 3 s/d 13 Kulim. Stasi baru ini berada di antara stasi St. Fransisikus Asisi Sejahtera Duri dengan St. Wilhelmus Simpang Bangkok (Paroki Dumai).

            Setelah sekian lama berjuang, kini impian itupun telah membuahkan hasil. Tepat pada Minggu 3 April 2016, Paskah II, dan diperingati sebagai Minggu Kerahiman Ilahi, stasi St. Yohanes A Deo resmi menjadi stasi yang ke-32 di wilayah Paroki St. Yosep Duri dengan jumlah umat tercatat 88 KK. Hal ini ditandai dengan misa perdana bersama umat stasi St. Fransiskus Asisi Sejahtera dan pengukuhan DPS oleh RD. Otto Processus Hasugian. 

Dalam kotbahnya Romo Otto menjelaskan bahwa mulai saat ini stasi St. Yohanes A Deo sudah langsung bertanggungjawab kepada Paroki St. Yosep, bukan lagi kepada stasi St. Fransiskus Asisi seperti waktu mereka sebagai Kring. Kita berdoa dan berharap semoga Stasi ini diyakini sebagai lambang kehadiran Yesus di tengah-tengah umat dan di lingkungan masyarakat sekitar. SK Pengukuhan dibacakan oleh Sekretaris I DPP Margaretha Hesti Ariesta. Pengukuhan DPS ditandai dengan percikan air suci dan penyerahan SK kepada masing-masing pengurus yang berjumlah 24 orang oleh Romo Otto. Selesai misa acara dilanjutkan dengan makan bersama dan hiburan.

            Sebagai Stasi yang baru, Stasi ini menjadi bagian dari Wilayah Sejahtera. Dalam kunjungan pastoral Bapa Uskup di wilayah ini 12 Juni 2016 nanti, DPP telah menetapkan bahwa stasi St. Yohanes A Deo akan  menjadi tuan rumah untuk penerimaan sakramen Krisma untuk wilayah Sejahtera.

Profisiat untuk Stasi St. Yohanes A Deo.

Sumber: D. P. Tarihoran.

Renungan

Renungan Hati

Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api.
Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal di USA, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis.
Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G. Vargas, presiden Brazil, tidak akan menembak jantungnya sendiri.
Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan meminum alkohol dan obat depresi hingga overdosis.
Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Perancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.
Ternyata, bahagia atau tidaknya hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, tenarnya, cantiknya, kuasanya, sehatnya atau sesukses apapun hidupnya.
Tapi yang bisa membuat seseorang itu bahagia adalah dirinya sendiri.. mampukah ia mau mensyukuri semua yang sudah dimilikinya dalam segala hal…
“Kalau kebahagiaan bisa dibeli, pasti orang-orang kaya akan membeli kebahagiaan itu. dan kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan karena sudah diborong oleh mereka.”
“Kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti di belahan lain di bumi ini akan kosong karena semua orang akan ke sana berkumpul di mana kebahagiaan itu berada .”

Untungnya kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia. Jadi kita tidak perlu membeli atau pergi mencari kebahagiaan itu.


Yang kita butuhkan adalah Hati yang Bersih dan Ikhlas serta Pikiran yang Jernih, maka kita bisa menciptakan rasa “Bahagia” itu kapan pun, di manapun dan dengan kondisi apapun.”

Kebahagiaan itu milik Orang-orang yang dapat Bersyukur.


Renungan

Renungan Hati

Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman, tidak akan menabrakkan badannya ke kereta api.
Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia, tentunya Michael Jackson, penyanyi terkenal di USA, tidak akan meminum obat tidur hingga overdosis.
Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia, tentunya G. Vargas, presiden Brazil, tidak akan menembak jantungnya sendiri.
Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia, tentunya Marilyn Monroe, artis cantik dari USA, tidak akan meminum alkohol dan obat depresi hingga overdosis.
Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia, tentunya Thierry Costa, dokter terkenal dari Perancis, tidak akan bunuh diri, akibat sebuah acara di televisi.
Ternyata, bahagia atau tidaknya hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, tenarnya, cantiknya, kuasanya, sehatnya atau sesukses apapun hidupnya.
Tapi yang bisa membuat seseorang itu bahagia adalah dirinya sendiri.. mampukah ia mau mensyukuri semua yang sudah dimilikinya dalam segala hal…
“Kalau kebahagiaan bisa dibeli, pasti orang-orang kaya akan membeli kebahagiaan itu. dan kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan karena sudah diborong oleh mereka.”
“Kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti di belahan lain di bumi ini akan kosong karena semua orang akan ke sana berkumpul di mana kebahagiaan itu berada .”

Untungnya kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia. Jadi kita tidak perlu membeli atau pergi mencari kebahagiaan itu.


Yang kita butuhkan adalah Hati yang Bersih dan Ikhlas serta Pikiran yang Jernih, maka kita bisa menciptakan rasa “Bahagia” itu kapan pun, di manapun dan dengan kondisi apapun.”

Kebahagiaan itu milik Orang-orang yang dapat Bersyukur.


Kunjungan Pastoral November 2016

Kunjungan Pastoral November 2016





Dalam kasih umat Katolik aku mendapatkan hidayah

25/10/2016
Patung Bunda Maria di Nilo, Maumere, Flores.
Saat aku masih kecil sering diceritakan oleh Ibuku tentang Indonesia yang beraneka ragam, baik bahasa, suku, agama dan warna kulit, oleh Ibuku sering disebut Bhinneka Tunggal Ika. Ibuku suka sekali bercerita, tentang sejarah, legenda dan tokoh-tokoh dunia, tapi yang paling aku sukai saat Ibu bercerita tentang agama. Bukan tentang surga atau neraka seperti yang sering disampaikan oleh guru agamaku di sekolah.
Tentang agama, Ibuku sering bercerita tentang kisah pengorbanan Yesus dan kelembutan hatinya, tentang dewa-dewa umat Hindu, kisah pencerahan sang Buddha, dan juga tentang akhlak nabi Muhammad yang sangat beliau kagumi. Kata Ibuku kala itu, semua agama mengajarkan kebaikan dan penuh kedamaian.
Saat aku duduk di Kelas II SD aku pernah bertanya kepada Ibu, “Bu, apakah orang Buddha, Katolik, dan Hindu akan masuk surga?” Dijawab oleh Ibuku bahwa mereka semua juga akan masuk surga. Sayangnya jawaban seperti yang disampaikan oleh Ibuku tidak akan aku dapatkan lagi dalam ruang-ruang keluarga di Indonesia saat ini.
Saling curiga, sesat menyesatkan, mengkafirkan orang lain dan klaim agama yang paling benar lebih mendominasi kehidupan beragama kita hari ini. Andai Ibuku masih hidup tentu beliau akan bersedih. Oh ya ada baiknya aku ceritakan terlebih dahulu latar belakang keluargaku. Ibuku dilahirkan dari keluarga dengan pemahaman agama yang sangat konservatif, keluarga Ibuku adalah pengikut organisasi keagamaan Lemkari atau yang saat ini dikenal dengan nama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Organisasi ini dianggap sesat oleh sebagian kalangan umat Islam di Indonesia.
Sedangkan Bapakku seorang abangan tulen, beliau tidak akrab dengan ritual keagamaan. Tempat tinggal kami, merupakan basis Islam yang kaya akan tradisi keagamaannya, ada dua pesantren NU di dekat rumah kami. Aku tumbuh dengan warna-warni perbedaan.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga konservatif, soal agama Ibuku sangat moderat. Kata Ibuku, perbedaan bukan menjadi sebuah halangan, termasuk dalam keyakinan beragama. Soal perbedaan keyakinan ini Ibu pernah bercerita tentang salah satu adik perempuannya yang menikah dengan orang yang beragama Katolik. Perbedaan keyakinan yang menjadi pertentangan keluarga saat itu, kata Ibuku bisa didamaikan dengan dialog terus menerus.
Soal pandangan politik, antara Ibu dengan Bapak juga bagai minyak dengan air, tidak akan bersatu. Sebagai seorang PNS saat Orde Baru berkuasa, Ibuku adalah kader Golkar. Suka atau tidak suka seluruh keluarga juga diwajibkan memilih Golkar. Tapi itu tidak berlaku buat Bapakku, beliau tidak sudi memilih Golkar.
Selama Orde Baru, beliau memilih golput. Tentang beda pilihan politik ini, Ibuku juga tidak pernah mempermasalahkannya walaupun risikonya sangat besar saat itu.
Di kemudian hari baru aku mengerti kenapa Bapak tidak sudi memilih Golkar dan memilih golput, buku Di Bawah Asap Pabrik Gula yang ditulis Hiroyosi Kano dan Frans Husken yang diterbitkan oleh Universitas Gadja Mada, membukakan mataku akan sejarah kelam dari keluarga Bapak.
Buku yang membahas hasil penelitian tentang masyarakat pesisir Jawa sepanjang abad 20 ini, salah satu babnya membahas konflik politik setelah tragedi 65. Diceritakan dalam bab tersebut bagaimana keluarga Bapak dibantai oleh gerombolan tentara dengan tuduhan sebagai antek PKI.
Menghargai perbedaan memang tidak mudah, baik agama maupun pandangan politik. Perbedaan agama misalnya seringkali menjadi sumbu pertikaian yang setiap saat bisa terbakar. Pun demikian soal tragedi 65, rekonsiliasi belum menjadi pilihan terbaik untuk mengakhiri konflik yang melelahkan anak bangsa ini. Untuk kedua masalah tersebut kedua orang tuaku lebih memilih jalan dialog untuk merangkul perbedaan.
Apakah dengan latar belakang keluargaku yang penuh perbedaan sudah cukup untuk mengenalkan aku tentang toleransi? Tentu saja tidak cukup. Pengalaman tinggal di Maumere, Flores selama hampir lima tahun yang kemudian ‘mengkhatamkan’ aku tentang toleransi, ini pengalaman paling pribadi dan akan aku ceritakan dalam tulisan ini.
Tahun 2010 aku mendapatkan tugas untuk bekerja di Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Sikka. Aku tinggal di sebuah desa di pesisir utara 30 kilometer dari kota Maumere, Desa Reroroja namanya. Di Desa ini mayoritas penduduknya beragama Katolik, hanya sedikit saja yang Muslim, biasanya pendatang dan orang dari suku Bajo.
Di desa ini orang Katolik dan Muslim hidup damai dalam perbedaan, tidak ada sejarah konflik antara keduanya. Dari tempat inilah aku mulai belajar tentang toleransi yang sesungguhnya.
Awalnya kekhawatiran tidak bisa diterima karena aku seorang Muslim sempat terlintas dalam pikiranku, tapi semuanya sirna saat aku bertemu dengan mereka, keramahan dan kehangatan mereka begitu tulus menyambutku. Begitu pun ketika mereka tahu kalau aku seorang muslim mereka sangat menghormatiku. Misalnya saat aku berkunjung ke rumah-rumah mereka, tanpa diminta mereka selalu menyediakan tempat untuk salat.
Untuk tempat salat ini kadang aku sampai tidak enak sendiri, mereka memberikan alas kain tenun terbaik mereka untuk dijadikan sajadah padahal lantai rumahnya masih tanah.
Untuk makan pun mereka sangat hati-hati, mereka tahu kalau seorang Muslim tidak makan daging babi dan anjing. Saat aku diundang ke acara pesta nikah atau acara sambut baru, menu khusus telah mereka siapkan berupa ayam dan ikan.
Biasanya sebelum ayam dimasak mereka mengundangku terlebih dahulu untuk menyembelih sendiri ayamnya. Tidak hanya dalam pesta, di hari-hari biasa pun saat mereka mengundangku makan bersama, mereka tidak akan menyediakan makanan yang dilarang oleh agamaku.
Saat acara makan bersama, yang paling aku sukai adalah saat mereka membaca doa, doanya, “Tuhan yang maha baik, terima kasih atas makanan yang telah Engkau sediakan ini, berkatilah makanan ini supaya menjadi sumber kesehatan bagi kami, berkatilah mereka yang telah menyiapkan makanan ini untuk kami, dan berkatilah pula orang-orang di luar sana yang masih kelaparan atau yang belum dapat menikmati makanan seperti ini, Terima kasih Tuhan, amin.
Jujur ketika pertama kali mendengar doa tersebut aku sampai menitikkan air mata, bukan karena kehangatan mereka dalam menjamuku, tapi karena di tengah kemiskinan yang mereka alami mereka masih mendoakan orang-orang yang kelaparan, yang belum bisa menikmati makanan seperti yang kami makan saat itu.
Acara makan bersama menjadi tempat kami untuk saling berbagi, tidak hanya makanan dan kebahagiaan, tetapi juga berbagi doa, tanpa ragu mereka mempersilahkan aku untuk memimpin doa secara bergantian, tentu saja doa sesuai dengan keyakinanku.
Satu lagi peristiwa yang membuat aku menyakini bahwa toleransi tidak mengenal sekat-sekat keyakinan, saat salah satu tetanggaku meninggal dunia, namanya Mama Tini. Beliau seorang Muslim yang dihormati di kalangan orang Bajo. Saat penguburan dilakukan beliau didoakan dalam doa dua agama, Islam dan Katolik. Tidak ada penolakan dari keluarga saat perwakilan tokoh agama Katolik memimpin doa dan memberikan khotbah penutup kepada almarhum.
Pengalaman tentang toleransi kemudian banyak aku dapatkan tidak hanya di Maumere, tetapi juga di daerah-daerah lain di Pulau Flores. Di Larantuka aku banyak belajar pada acara perayaan Semana Santa, di mana umat Muslim membaur dengan orang Katolik untuk merayakan bersama pekan suci menyambut Paskah. Di Lembata, temanku yang Katolik rela bangun tengah malam hanya untuk menyiapkan makan sahur saat di bulan puasa.
Di Ende banyak aku temui dalam satu keluarga ada yang beragama Islam dan Katolik. Mereka begitu tulus menghormati perbedaan dan melakukannya dengan penuh kegembiraan. Bagiku Pulau Flores adalah kamus toleransi terlengkap yang ada di Indonesia bahkan di dunia.
Penghormatan umat Katolik di Pulau Flores terhadap perbedaan, mengingatkan aku pada cendekiawan Muhammad Abduh yang pernah mengatakan, “Ra’aitu al Islama duna al muslimin, wa ra’aitu al muslimin duna al-islam,” ya nilai-nilai Islami terlihat di tengah masyarakat nonmuslim, sementara umat Islam hidup tanpa nilai-nilai Islam.
Kondisi ini sangat relevan dengan apa yang terjadi saat ini, di mana daerah-daerah mayoritas Muslim tidak ramah lagi dengan perbedaan, gerombolan intoleran tumbuh subur dan penguasa daerah berlomba-lomba menerbitkan peraturan untuk membungkam toleransi.
Toleransi tidak lahir dari khotbah di mimbar-mimbar tempat ibadah, forum diskusi, dan kebijakan penguasa, ia lahir dari sebuah tindakan, dan tindakan membutuhkan sebuah kejujuran. Umat Katolik di Flores telah membuktikan bahwa toleransi adalah sebuah tindakan bukan lagi perdebatan, apalagi hanya sekedar slogan semata.
Aku berharap di usia yang ke-71 tahun ini, Indonesia benar-benar merdeka. Tidak ada lagi penganut Syiah di Sampang menjadi pengungsi, tidak ada lagi perusakan Masjid Ahmadiyah, tidak ada lagi teror bagi penghayat kepercayaan, kemudahan mendirikan tempat ibadah apapun agamanya, dan juga tidak ada lagi pembubaran forum-forum diskusi.
Sebagai orang tua saat ini, tentu saja aku ingin mewariskan cerita dari Ibuku kepada anak-anakku bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian.
oleh Didik Fitrianto
Artikel ini telah dimuat di Kompasiana

Ibu Teresa ‘menaklukkan hati orang India’

24/10/2016

Seorang pejabat tinggi pemerintahan nasionalis Hindu di India telah memuji St. Teresa dari Kalkuta dan berjanji melindungi orang Kristen dari kekerasan bermotif agama.
“Dia adalah ibu untuk semua orang India,” kata Menteri Dalam Negeri Rajnath Singh, berbicara pada 19 Oktober di New Delhi di hadapan para pejabat Gereja yang diselenggarakan untuk merayakan kanonisasi biarawati itu bulan lalu.
Dua orang dari Makedonia terkenal di India – pertama, Alexander Agung, yang datang menaklukkan India, “tapi Ibu Teresa datang dan menaklukkan hati orang India,” kata Singh disambut tepuk tangan meriah dari 1.000 hadirin.
“India tidak ada tempat untuk diskriminasi agama,” katanya dalam pertemuan termasuk empat kardinal India, Uskup Agung Salvatore Pennacchio serta sekitar 60 uskup dan tamu undangan.
“Atas nama negara, saya sangat menghormati Ibu Teresa,” katanya.
Kardinal Geroge Alencherry, ketua Gereja Siro-Malabar, bersalaman dengan Menteri Dalam Negeri India Rajnath Singh pada 19 Oktober di New Delhi dalam acara menandai kanonisasi Ibu Teresa. 

Kata-kata Singh sangat signifikan karena sejumlah elemen garis keras dari Partai Bharatiya Janata (BJP) secara terus menerus menuduh biarawati itu menggunakan karya sosialnya sebagai cara untuk mengkonversi warga Hindu ke Kristen.
Para pejabat Gereja telah mengeluh bahwa kekerasan agama terhadap umat Kristen telah meningkat, terutama di India bagian utara di mana mereka hanya memiliki kurang dari satu persen dari populasi, sejak BJP berkuasa dua tahun lalu.
Singh mengatakan kekerasan anti-Kristen terkait politik lokal dan mencatat beberapa insiden kekerasan terhadap umat Kristen sebelum Pemilu 2014 di negara itu, partainya direkayasa oleh saingan.
“Tidak ada insiden kekerasan setelah pemilu. Sekarang, kami memastikan bahwa tidak akan ada kekerasan terhadap Anda, sebelum, selama dan setelah pemilu,” kata Singh.
Singh menambahkan bahwa India “adalah sebuah universitas toleransi. Tanpa toleransi, ko-eksistensi (beragam agama dan budaya) tidak mungkin ada. Tanpa toleransi tidak ada perdamaian,” kata Singh.
Kardinal Baselios Cleemis, ketua Konferensi Waligereja India, mengatakan dalam pertemuan itu bahwa perayaan di ibukota negara itu sangat bermakna.
Namun, Pastor Theodore Mascarenhas, sekjen Konferensi Waligereja India, mengatakan bahwa orang Kristen masih takut terhadap ekstremis Hindu.
Pada semester pertama tahun 2016, setidaknya 134 insiden kekerasan terhadap orang Kristen, dibandingkan dengan 147 insiden tahun 2014 dan 177 tahun 2015, menurut data yang dirilis oleh Evangelical Fellowship of India’s Religious Liberty Commission.
Orang Kristen merupakan minoritas kecil dengan 2,4 persen dari 1,2 miliar populasi India, lebih dari 80 persen beragama Hindu.
Sumber: ucanews.com

Pandangan agama-agama di Indonesia terhadap nasionalisme

27/10/2016

 Bagaimana hubungan antara agama dan nasionalisme? Apakah ada nilai-nilai agama yang mendorong nasionalisme, mengingat munculnya negara bangsa (nation state) baru belakangan muncul. Sedangkan agama, termasuk agama samawi sudah muncul sejak ribuan tahun yang lalu. Tak heran, masih ada kelompok yang menginginkan munculnya sistem kekhilafahan global oleh organisasi transnasional. Hal ini dikarenakan mereka belum memahami hubungan antara agama dan nasionalisme.
Dari fenomena itulah, Balitbang Diklat Kementerian Agama pada 2015 melakukan penelitian tentang penggalian dan perumusan nilai-nilai agama yang terdapat di kitab suci, teologi, hukum dan etika keagamaan yang mendukung NKRI. Poin NKRI merujuk pada bentuk negara nasional, Pancasila, UUD 1945, dan kemajemukan. Hasilnya, dalam semua agama, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, semuanya terdapat ajaran-ajaran yang mendukung nasionalisme.
Bagi kalangan Muslim, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan rasa cinta kepada tanah air serta ketundukan kepada pemerintah selama ia tidak melenceng dari syariat Islam. Bahkan Persis yang dikenal sebagai gerakan puritan, maupun Ikatan Jamaad Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang merupakan representasi Syiah dan oleh karenanya menjadi bagian dari gerakan transnasional; menjadikan NKRI sebagai bangunan politik bersama yang harus dibela, sebagaimana umat Islam membela agama.
IJABI dalam Deklarasi Persatuan 14 November 2013 menempatkan diri sebagai anak bangsa yang lahir di bumi Indonesia dan menjadikan Pancasila sebagai asas kenegaraan. Demikian pula Persis dan Matlaul Anwar (MA) yang menempatkan NKRI sebagai bangunan final kenegaraan, dengan menempatkan Pancasila sebagai falsafah dan Islam sebagai akidah.
Bagi kalangan Kristen, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Hal ini didasarkan pada dua hukum kasih, yakni kasih kepada Tuhan dan sesama manusia. Artinya, mengasihi manusia tidak mengenal batas teritorial, sehingga setiap umat Kristiani harus menegakkan kemanusiaan di segala kondisi kebangsaan.
Dalam konteks NKRI, kalangan Kristen menerapkan the Kingship of God, bukan the Kingdom of God. Bagi yang terakhir, kerajaan Tuhan harus berbentuk lembaga dengan teritori yang jelas. Sedangkan bagiKingship of God, kerajaan Tuhan diwujudkan melalui penerapan nilai-nilai kemasyarakatan Kristus, bukan lembaga Negara Kristen. Dengan demikian, umat Kristen tetap bisa mewujudkan the Kingship of Godmelalui bentuk NKRI.
Bagi kalangan Katolik, hubungan agama dan nasionalisme diwakili oleh istilah Invocatio Dei, yakni mengundang Allah dalam kehidupan bernegara. Makna dari istilah ini ialah agama merupakan bagian esensial dari negara, sehingga salah satu tugas negara terletak dalam jaminan atas hak beragama. Hal ini diperkuat dengan semboyan tokoh perjuangan kemerdekaan RI dari Katolik, Monsinyur Soegijapranata, “100% Katolik, 100% Indonesia”. Artinya, iman dan kebangsaan bukan opisisi. Justru sebaliknya: kebangsaan merupakan perwujudan nyata dari iman. Hal ini didasarkan pada asumsi sekular yang dietapkan oleh Yesus, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak-Nya (Matius 22:21). Artinya, wilayah negara berbeda dengan wilayah ketuhanan sehingga ketaatan terhadap pemerintah tidak mereduksi ketaatan terhadap Tuhan.
Bagi kalangan Hindu, nasionalisme sudah familiar di dalam kesejarahannya. Sebab seloka Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan kesatuan dan perbedaan di Pancasila, diambil dari falsafah hidup di masa kehinduan Kerajaan Majapahit. Seloka yang dinukil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular itu menggambarkan hakikat kebenaran yang satu sebab tidak ada kebenaran yang mendua (tanhana dharma mangwra). Dengan demikian, kebangsaan Indonesia berakar pada kesejarahan dan kebudayaan masyarakat Nusantara di mana ajaran Hinduisme menjadi salah satu dasar pandangan hidup yang kuat. Oleh karenanya, umat Hindu merasa menjadi bagian dari kesejarahan kebangsaan RI, sehingga tetap membela keutuhan NKRI.
Menurut tokoh-tokoh Buddha, ajaran nasionalisme terdapat di kitab Sigalovada Sutta yang merupakan kitab pengaturan masyarakat. Di dalamnya, nasionalisme didasarkan pada prinsip sederhana: “Jangan biarkan kejahatan terjadi dalam kerajaanmu”. Artinya, di manapun umat Budha berada, ia harus menegakkan kebenaran.
Dengan demikian, nasionalisme dipahami dalam dua hal. Pertama, penegakan kebenaran sehingga yang terpenting bukan corak kebangsaan, tetapi kemampuan menegakkan Dharma di wilayah kebangsaan tersebut. Kedua, cinta kasih kepada sesama makhluk sebagai pengabdian masyarakat dalam kerangka hidup berbangsa.
Menurut Konghucu, arti penting nasionalisme terletak pada loyalitas rakyat kepada negara, ketika negara mampu mensejahterkan rakyat. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Sabda Lun Yu, pemerintah yang berdasarkan kebajikan laksana kutub utara yang tetap di tempatnya, sedangkan bintang-bintang lain berputar mengelilinginya. Negara yang dibimbing oleh Undang-Undang, akan menjaga rakyat menjatuhkan harga diri karena menciderai martabat kemanusiaannya. Dengan demikian, nasionalisme mewujud dalam peran negara untuk mewujudkan nilai-nilai luhur yang ada di dalam aturan hukum dan falsafah pendiriannya.
Penelitian dilaksanakan di 10 kabupaten/kota yaitu Kota Bandung dan Kabupaten Pandenglang (komunitas Islam), Kota Bogor dan Kota Manado (komunitas Protestan), Kota Selatiga dan Kota Kupang (komunitas Katolik), Kota Pontianak dan Kabupaten Temanggung (komunitas Buddha), Kota Denpasar (komunitas Hindu), dan Kota Surakarta.
Sumber: nu.or.id ( http://indonesia.ucanews.com)

Kunjungan Pastoral Jun 2016

Jadwal Pelayanan Pastoral
Paroki St. Yosef Duri, bulan Juni 2016

HARI
TGL
TEMPAT
WAKTU
PETUGAS
Jumat
3
St. Yosef
08.00
RD. Adrianus Bae Meman


Sejahtera
12.00
RD. Adrianus Bae Meman


St. Yosef
18.00
RD. Adrianus Bae Meman


St. Yosef
12.00
RD. Otto Processus Hasugian


Sejahtera
20.00
RD. Otto Processus Hasugian
Sabtu
4
St. Yosef
18.00
RD. Adrianus Bae Meman
Minggu
5
St. Yosef
08.00
RD. Otto Processus Hasugian


Lingkaran
10.00
RD. Otto Processus Hasugian


Suka Damai
11.30
RD. Otto Processus Hasugian


Wira Buana Lestari
09.00
RD. Adrianus Bae Meman


Libo Lestari
11.30
RD. Adrianus Bae Meman


PKS Waduk
15.00
RD. Adrianus Bae Meman
Rabu
8
Manggala Junction
11.00
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap
Kamis
9
Tegar
11.00
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap
Jumat
10
Air Hitam
11.00
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap
Sabtu
11
Malibur 68
11.00
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap
Minggu
12
St. Yosef  -  A Deo Kulim
08.00/12.00
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap
Senin
13
St. Yosef (temu OMK - DPP)
09.00-17.00
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM Cap
Sabtu
18
St. Yosef
18.00
RD. Adrianus Bae Meman
Minggu
19
St. Yosef
08.00
RD. Otto Processus Hasugian


Cinta Ramai
10.00
RD. Otto Processus Hasugian


Spg Jambu
12.00
RD. Otto Processus Hasugian


Manggala
09.00
RD. Adrianus Bae Meman


Seremban Jaya
13.00
RD. Adrianus Bae Meman
Rabu
22
Tanjung Selamat
15.00
RD. Otto Processus Hasugian
Sabtu
25
St. Yosef
18.00
RD. Otto Processus Hasugian
Minggu
26
Spg Pungut
09.00
RD. Otto Processus Hasugian


Kandis
11.00
RD. Otto Processus Hasugian


Pondok VI
15.00
RD. Otto Processus Hasugian


Spg Pipa
09.30
RD. Adrianus Bae Meman


Garut
12.00
RD. Adrianus Bae Meman


Kandistasari
15.00
RD. Adrianus Bae Meman
Rabu
29
Sinar Kemenangan
11.00
RD. Otto Processus Hasugian
Sumber: Fitriyani Pinayungan (Sekretaris Paroki St. Yosef Duri)